Selamat Malam :)
Saya ingin berbagi cerita tentang seorang pianis yang cacat
dan memiliki keterbelakangan mental :)
Kisah tentang seorang anak kecil yang sangat hebat menurut
saya.
Baiklah, ayo kita mulai ceritanya :)
Hee Ah Lee, pianis berusia 21 tahun asal Korea itu membuat
1000 penonton di Balai Kartini, Jakarta, terkagum-kagum tak ada habisnya, dalam
konser bertajuk “Sharing The Strength of Love”.
Hee menderita lobster claw syndrome, pada masing-masing
ujung tangannya terdapat dua jari yang membentuk huruf V seperti capit
kepiting. Kakinya hanya sebatas bawah lutut, sehingga tinggi badannya hanya
satu meter. Ia juga mengalami keterbelakangan mental.
It’s a miracle, yang dihadirkan oleh seorang yang cacat dan
keterbelakangan mental. Riwayat Masa Kecil dan Ketekunan Pendidikan Mental Hee
lahir dari Woo Kap Sun (50). Woo telah mengetahui sejak awal bahwa anaknya akan
terlahir cacat. Sanak keluarga Woo menganggap itu sebagai aib.
Mereka menyarankan agar bayi itu dikirim ke panti asuhan.
Woo menolak saran tersebut. Ia menerima Hee sebagai kenyataan dan anugerah.Woo
merawat, mendidik dan memperkenalkan Hee pada kehidupan nyata. Ia memperlakukan
Hee sebagaimana anak-anak lain. Untuk melatih kekuatan otot tangan, Hee diajarinya
bermain piano sejak usia 6 tahun.
Saat itu, jarinya belum mampu mengangkat pensil. Saat umur
Hee Ah menginjak tujuh tahun, tangannya masih belum bisa berfungsi. Memegang
pensil pun tak bisa. Woo menggunakan piano kecil di rumah untuk melatih tangan
Hee Ah.
Dengan kondisi keterbelakangan mental dan sulit berhitung,
tidak mudah mengajarinya main piano dengan nada-nada yang harus
"dihitung-hitung". Hee Ah juga didampingi guru. Cho Mi Kyong merupakan
guru pertamanya. Guru inilah yang mengajari Hee Ah dasar-dasar bermain piano.
Cho adalah guru yang keras, karena memperlakukan Hee Ah
sebagai layaknya orang yang bermain dengan 10 jari. Ia tidak melatih Hee dengan
pertimbangan rasa kasihan karena kondisi fisik. Hee pun berpindah dari satu
guru ke guru lainnya, disamping belajar sendiri dibimbing ibunya yang dengan
penuh kasih sayang serta kesabaran yang luar biasa, menemani Hee kemana saja.
Always Keep Fighting Spirit and Never Give up.
“Bayangkan Anda makan satu jenis makanan terus menerus. Aku
pernah bosan. Tapi, aku memakannnya terus. Aku berlatih terus menerus,” kata
Hee tentang ketekunan, “Aku berlatih terus hingga lelah dan menangis. Betapa
sulit bermain dengan empat jari. Susah sekali bagiku memainkan notasi yang
bersambungan.”
Sikap Percaya diri yang ditanamkan dalam menghadapi segala
cobaanKehidupan keluarganya serba sulit. Selain mengurus dirinya (Hee Ah),
ibunya juga harus merawat ayahnya yang veteran tentara Korea. Sebagian tubuh
ayahnya lumpuh karena terluka saat bertugas.
Belum selesai satu cobaan, cobaan lain datang. Lutut Hee Ah
luka dan terserang penyakit. Luka itu disebabkan Hee Ah terlalu sering berjalan
dengan lutut. Maklum, Hee Ah yang tak punya kaki harus berjalan menggunakan
lututnya. Hee ah masuk rumah sakit dan harus dioperasi.
Saat Hee Ah sedang sakit, ayahnya juga sakit parah. Woo
(ibunya) pun tak luput dari penyakit kanker payudara. Mungkin ini akibat
kecapekan dan stres tiada henti yang dialami ibunya. Parahnya, Hee Ah mogok tak
mau main piano. Woo sedih sekali.
Namun, Woo sadar, Hee Ah sedang dalam masa puber. Mungkin
dia sedang banyak pikiran. Hee Ah pun harus sampai masuk rumah sakit jiwa.
Tetapi apa kata para dokter? Mereka bilang, satu-satunya solusi adalah Hee Ah
harus tetap main piano. Akhirnya, Woo bertekad untuk mengajari Hee Ah main
piano dari awal lagi.
Ibunya berusaha mengembalikan rasa percaya diri Hee Ah.
Ibunya berkata, "Kalau kamu berhenti dari sekarang, tidak ada orang yang
akan memandang kamu. Kamu pun tidak akan percaya diri. Tenang aja, Tuhan akan
membantu dan berada di samping kamu. Karena kekurangan jari, kamu mungkin tidak
seperti orang kebanyakan. Tetapi karena kamu punya kekurangan, Tuhan pun pasti
akan lebih memberi."
Begitulah cara sang ibu menanamkan rasa percaya diri. Ia
menggembleng Hee agar tumbuh mandiri, penuh percaya diri dan bersemangat baja
menghadapi hidup.
Salah satu ketekunan dan kerja kerasnya, untuk bisa
memainkan karya Chopin Fantasie Impromptu, Hee berlatih 5 - 10 jam sehari
selama 5 tahun. Hasilnya memang luar biasa. Umur 12 tahun, Hee telah menggelar
resital piano tunggal.
Menjadi Pianis Terkenal dan Motivator Dunia
Hee Ah memainkan karya-karya sulit komposer dunia hanya
dengan keempat jarinya. Berbagai nomor dari pianis kondang seperti Chopin,
Bethoven, dan Mozart telah dikuasainya. Ia bisa memainkan Piano Concerto No 21
dari Mozart bersama orkes simphoni. Ia juga telah mendapat sederet penghargaan
atas keterampilan bermain piano, seperti penghargaan Overcoming Physical
Difficulty dari presiden Korea, Kim Dae Jong. Ia juga mendapat penghargaan
sebagai salah satu siswa terbaik di Seoul oleh Korean Education Department.
Tawaran konser di luar negeri pun mengalir. Sejak April
2006, ia mendapat sponsor dari Ministry of Education & Human Resource
Development, untuk keliling dunia selama 9 bulan menggelar konser di berbagai
negara. Ia pernah bermain bersama pianis Richard Clayderman (di USA) dan Thames
Philharmonic Orchestra (di Inggris).
Pianis yang telah diangkat sebagai warga kehormatan Korea
ini telah mengeluarkan satu album bertitel "Hee Ah, A Pianist with Four
Finger", yang menampilkan komposisi klasik favorit. Luar biasa!
Perjuangan Tiada Henti
Saat karier Hee Ah mulai menanjak, kesedihan kembali melanda
keluarganya. Ayah Hee Ah meninggal dunia. Demi mengurus semua keperluan Hee Ah,
ibunya terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Ia akan selalu bertekad membuat Hee
Ah bahagia. Ibunya berkata, "Jika nanti saya sudah tidak ada, saya yakin
pasti ada orang yang lebih sayang padanya. Kalau bisa, sebelum saya meninggal,
Hee Ah telah menemukan pasangan yang benar-benar bisa melindungi dan
mencintainya setulus hati agar dia bisa hidup bahagia. Sebagai pengganti
Ibunya."
Rasa bangga dan bahagia tampak jelas di raut wajah ibunya.
Bagaimana tidak, berkat didikannya (yang disertai ketekunan, cinta kasih dan
pengorbanan), Hee Ah bisa dengan mudah memegang sendok dan sumpit. Kini, ibunya
yang telah sembuh dari kanker payudara senantiasa setia menemani sang putri
tour keliling dunia.
He Ah memang telah membuktikan dirinya bisa berprestasi
berkat ketekunannya.Pelajaran yang didapat : He Ah Lee menjadi inspirasi bagi
mereka yang merasa diri sempurna untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan. Kekuatan
kasih telah merubah ”kekurangan” menjadi kekuatan.
Ibunya menjalani kehidupan sebagai permainan menurut aturan
disiplin, untuk kemudian menikmati permainan dengan segenap perjuangan. Sang
ibu yang berhati tegar ini menanamkan semangat dan sikap optimistis di hati
putrinya. Ini dilakukannya agar si anak dijauhkan dari sikap pesimistis dalam
kehidupannya.
Dari Hee Ah Lee, kita belajar tentang kerendah-hatian,
ketekunan, kesabaran, kerja keras dan percaya diri, dalam bentuknya yang paling
nyata.
PS. I believe, Everyone
is unique in their own way :)
PSS. If you have a will, sure you'll find the way. It's just matter of time :)
0 komentar:
Posting Komentar